Alhamdulillah, akhirnya dapat kembali melepas kerinduan serta keresahan yang mendalam dalam kolom virtual ini setelah sekian lama "terlupakan" akibat kesibukan yang kembali berada pada puncak-puncaknya. Topik kali ini merupakan keresahan mendalam penulis akan satu kata dengan makna kokoh sekaligus rapuh. mengapa demikian ? disisi lain kata toleransi berdiri sebagai pengejewantahan makna secara tegas akan adanya perbedaan, namun sebaliknya, justru membuat indikator pembatas perbedaan menjadi lemah. ini dikarenakan tidak semua hal yang berbeda dapat langsung dibedakan secara kasat mata maupun rasa, karena tidak semua hal dapat langsung dikategorikan hitam atau putih, karena abu-abu juga merupakan pemaknaan yang sama dalam perspektif kombinasi atau percampuran. namun, apakah toleransi berarti abu-abu ? tentu saja hal ini butuh penjelasan yang mendalam.
Defenisi toleransi beranjak dari kata toleran, yang menurut KBBI ialah bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan)
pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan
sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Dari defenisi saja, kata toleransi telah menghasilkan buah arti yang berbeda-beda. Harus diakui bahwa makna toleransi benar-benar meluas, sehingga penarikan satu kesimpulan akan kata ini sekiranya kurang tepat dilakukan. Namun cukuplah pembahasan makna kata tersebut, mari beranjak pada toleransi dalam hubungannya dengan lingkungan sosial manusia. Realitas yang kita hadapi bahwa semakin berkembang suatu zaman, maka akan semakin multi defenisi suatu makna kata maupun kalimat. Tak hanya sampai disitu, bahkan kemajuan zaman menghasilkan berbagai buah tindakan yang sebelumnya dapat dengan sederhana diberikan penilaian apakah tindakan tersebut baik atau buruk.
Sebagai contoh, berkat konsumsi kita akan pengaruh budaya dunia barat, menghasilkan budi luhur kita sebagai masyarakat timur yang dikenal dengan budaya agamis dan menjunjung tinggi etika dalam berkehidupan kehilangan identitas. Mengapa demikian ? Karena kita sebagai masyarakat timur tergolong "mencoba" luwes dalam mengadopsi budaya barat. Sebagai contoh, media elektronik khususnya TV dan Bioskop secara sadar menampilkan film maupun drama dalam percakapan ala dunia barat yang kental akan kata "hina" dalam budaya timur tanpa ada pengaturan seleksi konten bahasa. Akhirnya, terkonsumsilah ejaan-ejaan buruk (Fuck,motherfucker,sit,asshole,dll) digabungkan dengan bahasa asli dan dianggap sebagai suatu hal yang sangat menarik dalam percakapan.
Bahkan lebih rendahnya lagi, kita bahkan mencoba formulasi kata "hinaan" sendiri dengan cara mentranslatenya dalam bahasa asli kita. Padahal untuk menjadi kreatif juga butuh saringan atau kriteria, sehingga hal ini mampu diterima dengan baik karena akan selalu bersesuian dengan norma maupun kultur. Dan lebih menyedihkan lagi konsumsi kata ini justru diumbar-umbarkan tanpa merasa berdosa oleh artis layar kaca kita, baik itu dalam sebuah skenario adegan film, maupun dalam berbagai bentuk talk show dan panggung hiburan.
Padahal hal ini benar-benar vital dalam merusak etika kita sebagai bangsa yang bermoral, karena tidak satu katapun yang pantas untuk dilemparkan dalam percakapan karena itu merupakan kata-kata yang sangat kotor dalam mengungkapkan ketidaksenangan karena dalam kata tersebut mengandung hal yang secara umum tidak kita tampilkan kepada sesama karena melanggar kesusilaan. Kritik ini berlaku untuk semua umur, karena sekiranya tidak hanya anak-anak saja yang aktif dalam penggunaan kata "hina" ini, namun orang dewasa juga justru lebih aktif dalam menggunakannya dalam percakapan.
Jika hal seperti ini tidak dikendalikan, maka akan menggugurkan etika dan moral kita dalam memahami sesama. Tidak sampai disitu, tidak jarang penggunaan kata-kata ini menimbulkan konflik yang berujung dengan kontak fisik akibat tersulutnya amarah. Sebagai penulis saya berharap agar pemerintah dengan segenap usahanya mampu membuatkan aturan yang lebih khusus terkait masalah ini. Karena persoalan seperti ini memang terlihat kecil, namun berdampak massive.
Dan kita pun sebagai orang dengan budaya timur yang terpelihara sebagaimana lahiriahnya mungkin mampu untuk saling menyebar kebaikan dengan cara lebih menahan diri dan meningkatkan fungsi filter diri. Jikapun tersulut emosi sungguh kiranya seburuk-buruk kata amarah kita terucap (seperti kurang ajar, tidak punya sopan santun, bodoh) ini masih lebih baik dibandingkan kata-kata "hina" dunia barat yang sejatinya tidak memiliki pesan nasihat/kritik sama sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar